Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

 

Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan

Apa itu Ekonomi Kelembagaan?

Ekonomi Kelembagaan, atau yang dalam bahasa Inggris disebut Institutional Economics atau Institutionalism (Institusionalisme) merupakan sebuah paham/pemahaman ekonomi yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1920 dan 1930’an. Pemahaman ini memandang Ekonomi Kelembagaan sebagai perluasan sekaligus upaya perlawanan dari dan terhadap ilmu ekonomi neo-klasik. Mazhab Ekonomi Kelembagaan juga mempercayai bahwa institusi/organisasi ekonomi menjadi salah satu bagian dari proses perluasan dari pengembangan kebudayaan.

Dalam pemahaman Ekonomi Kelembagaan, pasar digambarkan sebagai tempat dimana terjadinya interaksi kompleks yang melibatkan berbagai institusi atau lembaga (baik formal maupun non-formal) seperti individu, perusahaan/swasta, pemerintah pusat, norma sosial, adat-istiadat, dan lain-lain), jadi transaksi yang terjadi dalam pasar bukan hanya dilihat sebagai kegiatan tukar menukar barang dan jasa dengan uang yang dilakukan oleh penjual dan pembeli, namun ada hal lain yang lebih kompleks, bahkan dalam diri si ‘penjual’ maupun ‘pembeli sendiri.

Ilmu Ekonomi Kelembagaan sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, hingga muncul istilah ‘Ekonomi Kelembagaan Lama’ dan ‘Ekonomi Kelembagaan Baru’. Ekonomi Kelembagaan Lama lahir dari pemikiran seseorang yang bernama Thorstein Veblen. Beliau merupakan Ekonom sekaligus sosiolog yang tidak setuju dengan teori ekonomi klasik/neoklasik yang cenderung statis. Beliau berpikir bahwa manusia sebagai pembuat keputusan dalam ekonomi, juga motif ekonomi yang melatarbelakangi setiap kegiatan adalah tidak sepenuhnya benar;sebagai sosiolog ia justru berpikir bahwa manusia-lah yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti adat-istiadat dan lembaga-lembaga tertentu.

Veblen juga tidak menyetujui asumsi dasar ekonomi klasik/neoklasik yang menyatakan bahwa:

1.) Setiap aktivitas manusia didasarkan atas perhitungan rasional untung-ruginya;

 2.) Manusia selalu mendahulukan kepentingannya sendiri; 3.) Adanya persaingan akan dapat meningkatkan efisiensi;

4.) Private Property Right merupkaan sebuah keharusan, dan;

5.) Teori Ekonomi Klasik rupanya mengabaikan faktor-faktor lain seperti sejarah, sosial, kelembagaan dalam membangun strukturnya.

Selain itu, Veblen juga memberikan kritik terhadap asumsi dasar teori tersebut. Sebenarnya memang benar jika manusia merupakan makhluk rasional, namun yang tidak diperhitungkan oleh teori ekonomi klasik/neoklasik adalah bahwa manusia juga makhluk emosional yang memiliki perasaan, selera, nilai, dan kecenderungan (insting) yang sudah terikat dengan budaya. Emosi atau perasaan yang dimiliki rupanya dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam melakukan transaksi ekonomi, sehingga terkadang aksi yang mereka lakukan tidak terhitung ‘rasional’.

Sebelum transaksi terjadi, biasanya pelaku ekonomi atau manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan ekonomi. Pilihan-pilihan ini rupanya juga diperngaruhi oleh faktor lingkungan, fisik, dan teknologi. Faktor seperti lingkungan ini dapat digolongkan ke dalam faktor sosial, dan rupanya hal-hal seperti sosial, sejarah dan kelembagaan menjadi komponen yang takkan terlepas dari dunia ekonomi, dan karena sosial dan kelembagaan sifatnya tidak statis, maka keadaan perekonomian-pun tidak mungkin selamanya sama, pasti mengalami perubahan-perubahan, yang dengan kata lain dapat kita sebut dinamis.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa keadaan sosial merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perekonomian, perkembangan dari dunia ekonomi juga selalu mendapat pengaruh dari keadaan sosial, diikuti dengan kelembagaan yang melingkupinya. Keadaan sosial dan kelembagaan atau institusi tertentu ternyata selalu dapat mengondisikan perkembangan perekonomian, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Adapun mazhab Ekonomi Kelembagaan Baru yang dipelopori oleh Oliver Williamson. Pemahaman ini sebenarnya berakar dari dua artikel yang ditulis oleh Ronal Coase yang berjudul ‘The Nature of Firms’ (1937) dan ‘The Problem of Social Cost’(1960). Dalam ilmu Ekonomi Kelembagaan Baru, sudut pandang ekonomi diarahkan menjadi terfokus pada norma dan hukum sosial dan legal (yang merupakan institusi) yang mendasari aktivitas ekonomi dan dengan analisa yang telah jauh-jauh dilakukan sebelumnya tentang Ekonomi Kelembagaan dan Ekonomi Neoklasik, dapat kita lihat bahwa Ekonomi Kelembagaan sebenarnya mencoba untuk memperluas langkahnya dalam menambahkan aspek-aspek yang sekiranya belum dijelaskan dalam ekonomi neoklasik.

Mazhab Ekonomi Kelembagaan Baru menjelaskan kelemahan yang ada dalam pemahaman ekonomi neoklasik, seperti:

1.) pasar dapat berjalan dengan sempurna tanpa biaya karena informasi telah tersebar secara luas dan merata, sehingga pembeli tahu benar barang atau jasa apa yang akan dibelinya;

2.) Persaingan berjalan dengan sempurna sehingga produsen barang/jasa dapat menekan harga barang/jasa yang diperjual-belikan sehingga dapat menjadi murah;

3.) Transaksi tanpa adanya biaya;

4.) Penegakan hak kepemilikan properti tidak memerlukan biaya, dan;

5.) Mekanisme pasar mampu menyelesaikan masalah-masalah seperti kasus eksternalitas, commons pool resources dan barang publik.

Tak hanya mengkritisi kelemahan mazhab ekonomi neoklasik, para ekonom pendukung/pengikut mazhab ekonomi kelembagaan baru juga memberikan prespektif baru yang berhubungan dengan masalah-masalah di atas, seperti:

1.) Pasar membutuhkan biaya agar dapat berjalan, karena pada dasarnya informasi sifatnya asimetris;

2.) Persaingan tidak dapat berjalan sempurna karena bergantung pada ketersediaan informasi dan penguasaan sumber daya;

3.) Tidak ada transaksi yang tidak memerlukan biaya (bersifat costless/zero cost);

4.) Penegakan hak kepemilikan properti membutuhkan biaya, dan; 5.) Mekanisme pasar tidak mampu menyelesaikan kasus eksternalitas, commons pool resources, dan barang publik.

Case Study: Mengapa Perlu Mempelajari Ekonomi Kelembagaan?

Setelah mengetahui apa itu ekonomi kelembagaan dan cara pandangnya, kita mulai bertanya-tanya. Sebenarnya mengapa kita harus mempelajari mata kuliah ini, dan mengapa mata kuliah ini digolongkan ke dalam mata kuliah wajib?

Jawabannya adalah karena dalam ekonomi kelembagaan, pelaku ekonomi benar-benar dipandang sebagai manusia, baik dalam jumlah satu orang (individu) maupun banyak (masyarakat, perusahaan, swasta, dan lain-lain). Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang memiliki perasaan. Dalam ilmu ekonomi klasik maupun neoklasik, ada beberapa asumsi yang menurut kita terlalu rasional. Seperti dalam membeli suatu barang, seseorang akan melihat harga. Misalnya Budi pergi ke dua toko buah, karena ingin membeli jeruk. Ia mendatangi dua toko yang berbeda dan melihat bahwa ada perbedaan harga di sana. Di Toko A, jeruk yang dijual lebih mahal daripada Toko B, maka otomatis Budi akan membeli jeruk di Toko B.

Pada nyatanya, dalam dunia nyata ekonomi suatu transaksi tidak terjadi dengan sesederhana itu. Ada faktor-faktor lain yang membuat sebuah transaksi yang paling kecil menjadi sangat kompleks, salah satunya adalah faktor emosi individu itu sendiri. Adapun faktor lain, namun kebanyakan pasti ada sangkut pautnya dengan ilmu sosial, seperti budaya, dan lain-lain. Sebagai contoh, misalnya saya ingin membeli kue kesukaan saya, yakni spiku. Untuk memperoleh kue tersebut saya pergi ke sebuah toko. Di dalam toko tersebut, ada dua macam kue spiku. Salah satunya buatan Malang, dan yang lainnya buatan Surabaya. Harga kue buatan Malang lebih murah daripada buatan Surabaya. Namun, pada akhirnya, saya tetap membeli kue spiku yang berasal dari Surabaya karena spiku merupakan salah satu makanan khas dari sana. Tentu sebenarnya keputusan yang saya ambil cukup tidak rasional, karena saya membeli sebuah kue dengan harga yang cukup tinggi padahal ada alternatif kue yang lebih murah, yakni kue buatan Malang.

Faktor-faktor seperti di atas tidak diperhitungkan sama sekali dalam ilmu ekonomi klasik/neoklasik, padahal saat kita sudah lulus nanti, kita akan menghadapi dunia nyata yang sesungguhnya dan asumsi-asumsi sederhana seperti itu tidak sepenuhnya dapat dipergunakan kembali. Maka dari itu, mempelajari ekonomi kelembagaan menjadi sangat penting, karena dengan ilmu ekonomi tersebut kita dapat memandang sebuah aktivitas ekonomi dari sisi yang berbeda.

Daftar Pustaka:

- Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan. Jakarta: Erlangga.

http://prasetya.ub.ac.id/berita/Ahmad-Erani-Yustika-Ekonomi-Kelembagaan-7608-id.html

https://www.britannica.com/topic/institutional-economics

 


Posting Komentar untuk "Pemaknaan Ekonomi Kelembagaan"