EKONOMI KELEMBAGAAN: SEJARAH PEMBANGUNAN EKONOMI
Immanuel
Wallerstein, seorang
sosiolog sempat mengemukakan teorinya tentang globalisasi, dan membagi kurun
waktu globalisasi dalam dua periode. Salah satunya dimulai pada tahun 1450,
dimana pada saat itu kolonialisme sedang marak terjadi. Kolonialisme sendiri
berarti pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar
batas negaranya, yang seringkali dilakukan untuk mencari dominasi ekonomi dari
sumber daya, tenaga kerja, dan pasar di wilayah tersebut.
Pada waktu itu,
orang-orang berpikir bahwa jika suatu negara ingin menyejahterakan keadaan
perekonomiannya, maka negara tersebut harus bisa menguasai sumber daya ekonomi
yang tersebar di berbagai negara, sebanyak apapun itu, dan penguasaan itu bisa
diraih jika dan hanya jika negara (asing) yang kaya akan sumber daya alam
tersebut dijajah.
Oleh karena
itu, rasanya terdengar tidak asing jika saat ini kita melihat banyak negara
yang kaya akan sumber daya alam justru menjadi negara berkembang — dan sebagian
malah terbelakang — sedangkan negara-negara yang sebenarnya tidak begitu kaya
akan sumber daya saat ini malah menjadi negara maju. Membahas istilah negara
maju dan terbelakang, sebenarnya istilah ini juga timbul karena adanya
kolonialisasi. Kedua istilah ini malah telah menjadi sistem tata ekonomi dunia,
yang menjadikan negara yang tak dapat bersaing dan mengambil posisinya sebagai
negara maju, maka akan mundur dan menjadi yang terbelakang. Hal yang sebaliknya
juga bisa terjadi. Jika awalnya suatu negara berada dalam kategori terbelakang
atau berkembang, namun seluruh penduduk negara tersebut berusaha memajukan
sistem tatanan ekonomi negara tersebut, bisa saja kelak negara mereka menjadi
negara maju, seperti Korea Selatan misalnya. Well, seperti yang
sering orang-orang katakan, tidak ada yang tidak mungkin.
Hubungan
timbal-balik negara maju dan berkembang pada zaman kolonialisme memang
memprihatinkan. Negara berkembang (dulunya negara jajahan, yang notabene
merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah) menjual hasil alam
mereka dengan harga murah (sebagai bahan baku). Negara maju (dulunya negara
penjajah) memproses bahan baku tersebut, dengan segenap kreativitas dan
teknologi yang mereka punya, sehingga mereka bisa memproduksi barang baru yang
memiliki nilai jual (lebih) tinggi. Ujung-ujungnya, negara jajahan akan menjadi
salah satu konsumen setia dari barang tersebut; negara penjajah mengekspor
kembali hasil produksi mereka kepada negara jajahan.
Tak hanya kolonialisme, pada saat yang hampir sama, semangat
merkantilisme sedang menyelimuti nyaris seluruh penduduk Eropa. Paham
merkantilis ini berprinsip ‘export more, import less’ yang berarti ‘ekspor
lebih banyak, impor lebih sedikit’. Upaya ini ditempuh semata-mata agar tingkat
kesejahteraan ekonomi dari negara penganut paham merkantilis itu bisa
meningkat, meskipun nyatanya, entahlah. Seorang ekonom asal Perancis, Antoine
de Montchretien menggambarkan merkantilisme sebagai berikut: ‘We
must have money, and if we have none from our own production, then we must have
some from foreigners.’ Maksud dari kalimat ini adalah, bagaimanapun
caranya, kita harus memiliki uang agar tetap dapat menjalankan bisnis. Kalaupun
tidak, setidaknya kita harus mendapatkannya dari penduduk luar (modal asing). Kolonialisme
dan merkantilisme bagaikan teman yang berjalan beriringan. Mereka memiliki
tujuan yang sama, yakni untuk menggapai kesejahteraan ekonomi (yang saat itu
dipahami sebagai gold, gospel, glory). Jika merkantilisme adalah
ideologi kesejahteraan yang harus direngkuh, maka kolonialisme berperan sebagai
cara atau jalan untuk menggapainya (kesejahteraan).
Setelah
munculnya kolonialisme dan merkantilisme, muncullah lagi konsep pemikiran yang
lain, yakni kapitalisme yang merujuk pada upaya untuk menghimpun modal secara
terus-menerus agar diperoleh profit sebanyak-banyaknya. Kapitalisme sangat
mendukung (bahkan memberi) adanya hak milik perseorangan/individu (private
property copyright) sehingga setiap individu dapat melakukan kegiatan
ekonomi atau transaksi. Dalam konsep kapitalisasi, intervensi pemerintah tidak
ada, atau mungkin sangat minim. Pemerintah atau negara tidak banyak ikut campur
tangan dalam mengurus perekonomian, mungkin hanya pada saat-saat tertentu.
Tugas pemerintah hanyalah menyediakan fasilitas yang memadai bagi para
kapitalis agar mereka dapat terus melakukan proses produksi dan distribusi
barang/jasa. Kapitalisme ini sempat goyah saat perang dunia ke-II terjadi.
Konsep
globalisasi, dimana pasar terbuka lebar bagi setiap negara, rupanya menimbulkan
masalah yang serius. Efisiensi alokasi faktor produksi, dapat dikatakan sebagai
‘hit or miss’ dimana jika hit terjadi, berarti ada
efisiensi dan itu dapat memberikan keuntungan yang sangat besar bagi negara
yang melakukannya, sedangkan jika miss terjadi, negara justru
bisa rugi besar. Adanya hal ini rupanya memunculkan istilah pihak yang ‘menang’
dan pihak yang ‘kalah’. Pihak yang menang adalah yang bisa melakukan hit tadi,
sedangkan pihak yang kalah (losers) adalah pihak yang miss.
Di sinilah istilah ‘zero sum game’ dipakai.
Adanya
globalisasi ini rupanya menimbulkan dampak yang cukup mengerikan, yakni berupa
ketimpangan yang kentara dengan sangat jelas. Sederhananya, coba bandingkan
Australia dengan Afrika. Indeks Pembangunan Manusia mereka menyaratkan
ketimpangan, karena terjadi gap yang cukup besar. Tentu
Australia yang unggul, dan Afrika yang lebih rendah. Hal ini dinilai
memprihatinkan (bagi Afrika), karena sumber daya manusia adalah salah satu
variabel yang berpengaruh sangat besar dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan
suksesnya perekonomian suatu negara. Jika tertulis banyak faktor yang dapat
membantu suatu negara untuk mewujudkan kesejahteraan ekonominya, maka faktor
manusia (man) lah yang akan menempati peringkat pertama sebagai faktor
yang sangat berpengaruh.
Adapun
blok-blok perdagangan yang kemunculannya makin marak seiring bertambahnya
waktu, yang diantaranya adalah NAFTA di Amerika Utara DAN AFTA di Asia
Tenggara. Dalam blok-blok perdagangan ini, tergabung negara-negara dalam wilayah
teritori tertentu, dan hal ini memungkinkan negara ‘maju’ dan ‘berkembang’
untuk tergabung dalam suatu perserikatan dagang. Contohnya, Jepang yang
tergabung di AFTA. Mungkin ada beberapa pihak yang memandang bahwa Jepang
merugi jika tergabung dalam AFTA. Namun, nyatanya ini justru merupakan suatu
keuntungan bagi Jepang karena dapat membangun relasi yang baik dengan setiap
negara anggota AFTA.
Seperti yang
saya kemukakan di awal, negara berkembang nyaris selalu menjadi pengekspor
bahan baku, sedangkan negara maju berperan sebagai pengolah bahan baku (yang
dapat mengubahnya menjadi bahan jadi yang bernilai jual tinggi). Negara
berkembang pada akhirnya menjadi konsumen yang bergantung pada produk negara
maju, dan hal inilah yang menuntun neraca perekonomian mereka menuju defisit.
Adapun perusahaan multinasional yang banyak berdiri di negara berkembang, pada
akhirnya justru memperoleh banyak keuntungan untuk mereka sendiri. Kegagalan
yang beruntun ini akhirnya mengarahkan pemerintah untuk mengambil ULN (Utang
Luar Negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing). Namun, apakah kedua hal ini dapat
memberi jalan kepada negara berkembang untuk meraih kesusksesan? Jawabannya,
tidak juga.
Karena, pada
nyatanya, ULN dan PMA yang diberikan oleh negara-negara asing untuk negara
berkembang ini tidak berupa uang, namun berupa teknologi dan lain-lain.
Padahal, teknologi yang diberikan belum tentu tepat sasaran dengan rancangan
rencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, biasanya negara
pengutang atau penanam modal ini juga memberikan ketentuan-ketentuan khusus
seperti mempekerjakan tenaga ahli mereka sebanyak beberapa orang, dan bisa
ditebak, jika gaji mereka tidaklah sedikit. Ujung-ujungnya, modal atau utang
yang diberikan akan kembali lagi kepada pemodal dan pengutang, dan apa yang
tersisa bagi negara peminjam untuk mereka gunakan, mungkin, hanyalah sedikit.
Melihat kondisi
negara berkembang seperti yang telah dijelaskan di atas memang sungguh membuat
prihatin. Harusnya, pemerintah menjadi lembaga yang berkuasa dalam mengatur
perekonomian, dan melakukan pekerjaannya dengan baik dengan memberi kesempatan
yang sama bagi setiap pihak untuk membangun perekonomian bersama-sama, bukannya
malah memberikan kesempatan besar bagi individu tertentu demi mencapai kekayaan
pribadi. Kesejahteraan ekonomi memang bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan,
namun tidak susah juga untuk dikabulkan, dengan adanya lembaga yang dapat
berlaku adil dan menerapkan aturan-aturan sesuai, kesejahteraan ekonomi
sepertinya bukan menjadi mimpi lagi bagi negara-negara yang saat ini berada di
posisi terbelakang.
Daftar Pustaka:
- Yustika, Ahmad Erani.
2012. Ekonomi Kelembagaan. Jakarta: Erlangga.
Posting Komentar untuk " EKONOMI KELEMBAGAAN: SEJARAH PEMBANGUNAN EKONOMI "